Ngabuburit di Wanayasa
19.17
Perjalanan cukup lancar menuju Purwakarta. Kota yang
dipimpin oleh Kang Dedi ini infrastrukturnya baik. Jalan-jalan besar dan aspal
mulus. Dari keluar tol Sadang menuju Situ Wanayasa ditempuh kurang lebih 45
menit, itupun disertai mampir belanja sayur dan buah-buahan di warung.
Saya juga menghubungi seorang kawan yang asli orang
Purwakarta dan kami berjanji untuk bertemu di Wanayasa. Padahal saya kenal
kawan ini sudah hampir dua tahun tapi baru kali ini kami bertemu.
Matahari sore jatuh di permukaan Situ (Danau) Wanayasa yang
bening. Sayang sekali tempat sebagus ini tak punya lahan parkir untuk mobil.
Kami yang kebingungan, disarankan untuk parkir di pinggir jalan atau turun ke
bawah, jalannya menukik tajam, namun di ujung jalan menukik itu memang ada
tempat parkir yang dilengkapi mushola dan warung-warung tutup yang terdengar
lagu dangdut sayup-sayup.
Duduk di bawah pohon rindang, ditemani semilir angin,
matahari yang semakin menggelincir serta danau yang beriak menjadikan momen
ngabuburit ini semakin menyenangkan. Saya dan Bapak pun berjalan mengelilingi
pinggiran danau. Ada sebuah rumah sederhana yang jendelanya menghadap ke arah
danau dan matahari terbit. Membayangkan tinggal di rumah itu dan bangun pagi
sambil membuka jendela dengan suguhan pemandangan luar biasa. Subhanallah …
Menjelang jam berbuka puasa, kami meninggalkan Situ Wanayasa
yang menjingga bersaput senja menuju warung sate Pareang. Kawan saya, Aa Yudi
yang memberi referensi Sate Pareang ini. Jalan menuju warung sate itu pun seru,
melewati hutan bambu hingga akhirnya tiba di sebuah warung sate yang sederhana
tapi rasanya RRuaarr biasa.
Selain sate maranggi yang empuk dan berbumbu sambal pedas, bakakak hayam di sini pun mantap. Seekor ayam kampung yang empuk, bumbunya meresap hingga ke tulang. Kami makan hingga bersih tanpa sisa. Bahkan beli seekor ayam lagi untuk sahur. Sayangnya saat itu ponsel saya mati hingga saya tak sempat mendokumentasikan kenikmatan sate Pareang.
Selain sate maranggi yang empuk dan berbumbu sambal pedas, bakakak hayam di sini pun mantap. Seekor ayam kampung yang empuk, bumbunya meresap hingga ke tulang. Kami makan hingga bersih tanpa sisa. Bahkan beli seekor ayam lagi untuk sahur. Sayangnya saat itu ponsel saya mati hingga saya tak sempat mendokumentasikan kenikmatan sate Pareang.
Ngabuburit tahun depan lebih seru lagi sepertinya. Semoga
kami semua masih sehat-sehat dan bertemu Ramadhan yang akan datang, Aamiin
0 comments
Blog ini adalah "kelas kecil" Miss Yunita, tempat menikmati kisah sambil minum kopi. Terima kasih sudah berkunjung. Kalau suka boleh komentar, boleh juga di-share. Mohon tidak meninggalkan link hidup.